Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan selama ini lebih dikenal dengan pajak tanah karena objek pajak utamanya berupa tanah (bumi) dengan wajib pajak yang meliputi seluruh golongan masyarakat dari golongan rakyat jelata sampai dengan pejabat tinggi negara, sementara kontribusi finansial untuk penerimaan negara masih relatif kecil dibandingkan dengan jenis pajak lainnya. Kecilnya kontribusi pemasukan tersebut tercipta karena tarif pengenaan PBB yang memang relatif kecil (0,5%), di samping karena pertimbangan bahwa objek PBB mencakup kebutuhan hidup dasar masyarakat dan aspek-aspek yang sangat rentan terhadap gejolak masyarakat.
Ada beberapa persoalan berkaitan dengan Pajak Bumi dan Bangunan
sebagian masyarakat yang belum memiliki sertifikat hak atas tanah masih berpendapat bahwa PBB (walaupun istilah teknis yang tepat yaitu SPPT PBB) merupakan bukti pemilikan hak atas tanah. Hal ini diperkuat lagi oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) yang mensyaratkan dan harus dilampirkan dalam pembuatan sertifikat tanah, yaitu bahwa salah satu dari sekian banyak indikasi kepemilikan tanah adalah memiliki SPPT PBB.
reformasi birokrasi pada Kementerian Keuangan pada umumnya dan modernisasi sistem administrasi perpajakan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak pada khususnya yang mengilhami lahirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) bahwa Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) akan beralih pengelolaannya yang semula dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan Republik Indonesia akan beralih ke Pemerintah Kabupaten/Kota, sedangkan PBB sektor Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan (P3) masih tetap menjadi Pajak Pusat.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa para petugas pajak dari pemerintah kabupaten/kota harus menguasai cara pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2).
Posting Komentar untuk "Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)"