Ruko sebagai tempat tinggal 20 Pegawai Pajak
Udara panas bercampur semrawutnya ruangan lantai dua yang digunakan sebagai tempat penyimpanan berkas Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Batulicin sudah menjadi pemandangan yang lumrah.
Baju, bungkusan plastik, dan kasur terlihat berantakan di dalam ruangan berukuran 6x5 meter yang disekat dengan selembar papan berwarna putih berbalut balok sebagai tulangnya.
Tiga buah ruangan di lantai 2 itu merupakan gudang yang diisi oleh sekitar 20 pegawai KPP Pratama Batu Licin, di Jalan Raya Batulicin, Kecamatan Simpang Empat, Kota Batulicin, Kalimantan Selatan yang digunakan saban hari untuk tidur. Mereka terpaksa menyekat gudang dengan selembar papan yang diberi daun pintu untuk beristirahat.
Mahalnya biaya hidup dan sewa kamar kos di daerah Batulicin menjadi salah satu alasan para pegawai pajak akhirnya memilih untuk tinggal di ruko penyimpanan dokumen sekaligus juga kantor fungsional yang terletak dua ruko berjejer dengan KPP Pratama Batulicin.
Salah satu pegawai pajak, Ilham mengaku sudah tinggal di ruko yang dijadikan sebagai gudang KPP Pratama Batulicin itu sekitar dua tahun. Awalnya, pria berambut sedikit ikal dan berkulit hitam itu datang dari Semarang, Jawa Tengah untuk menjalani tugas sebagai pegawai Pajak tahun 2009. Ilham merupakan lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Jakarta yang menjabat Account Representatif (AR) KPP Pratama Batulicin.
Untuk meminimalisir pengeluaran, awalnya Ilham patungan dengan rekan satu kantornya untuk menyewa rumah kontrakan di wilayah Kecamatan Simpang Empat, tidak jauh dari kantornya. Namun pengeluaran di Batulicin, tidak sebanding dengan pendapatannya sebagai pegawai pajak. Untuk makan setidaknya, Ilham harus merogoh kocek dalam-dalam sekitar Rp 100 ribu per hari.
Dengan pertimbangan itu, Ilham akhirnya memutuskan untuk tidur di gudang berkas yang disewa oleh KPP Pratama Batulicin, tepat dua toko di sebelah kantornya bersama dengan enam orang lainnya yang juga ikut tidur di ruko berlantai empat tersebut.
"Disini biaya hidup empat kali lipat dari Jakarta, kalau nggak irit, nggak bisa pulang," Kata Ilham beberapa pekan lalu. Tidak berbeda dengan Ilham, Febri Angga Mison, atau akrab disapa Mison juga harus tinggal di kantor lantaran beratnya biaya hidup di Kota Batulicin.
Rasa kangen terhadap keluarga menjadi alasan bagi Mison untuk mengirit pengeluarannya agar bisa bertemu dengan anak serta istrinya di Banyuwangi, Jawa Timur. Paling tidak, setiap bulan, Mison harus terbang ke Surabaya menemui anak serta istrinya selama dua hari. Hal yang paling berat dan harus ia jalani adalah melepas kerinduan dengan buah hati yang kini berusia 2 tahun. "Biayanya kalau untuk pulang pergi Rp 1,5 juta," kata Mison.
Hampir sama dengan anak buahnya, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi I (Waskon), Dikun berbinar-binar matanya saat hendak menceritakan suka duka hidup jauh dari keluarganya di Pekalongan, Jawa Tengah. Bapak berusia 50 tahun senantiasa memikirkan bagaimana anak dan istrinya hidup di luar pulau dengannya.
Dikun harus pulang pergi sebulan sekali untuk melihat anak dan istrinya hanya untuk sekadar melepas kangen. "Yang paling berat jauh dari keluarga, apalagi saya punya anak," ujar Dikun.
Pernah, waktu Dikun pertama kali tugas di Batulicin, anak serta istrinya diboyong tinggal di sana. Namun, belum satu bulan tinggal di Batulicin, anak serta istrinya tidak kerasan lantaran fasilitas penunjang jauh seperti di Pekalongan.
Untuk pendidikan, di Batulicin boleh dibilang jauh dari memadai, begitu juga dengan fasilitas kesehatan. Apalagi untuk hiburan, tempat wisata di Batu Licin nyaris tidak ada sama sekali kecuali hanya pantai tanpa pengunjung yang terletak di daerah Pagetan. "Baru tinggal di sini 1 bulan tapi nggak kerasan dan sekarang balik lagi ke Pekalongan karena sering mati lampu," kata Dikun.
Kebanyakan, para pegawai pajak yang tinggal di dalam ruko, hidup secara kekeluargaan karena merasa senasib sepenanggungan yang jauh dari rumah dan keluarga. Lingkungan yang dibangun memang berbeda dengan perkantoran pada umumnya.
Di antara atasan maupun bawahan tidak begitu terlihat kastanya dalam lingkup kerja di KPP Pratama Batulicin. Misal, Achmad Noor Wakhid, Kepala Kantor KPP Pratama Batulicin, juga tinggal di lantai 2 kantor pajak. Wakhid, seminggu sekali pulang ke Jakarta untuk menemui keluarganya dan melepas rindu berkumpul bersama anaknya.
"Cuma saya yang bisa pulang seminggu sekali, karena gaji saya mencukupi," kata Wakhid.
Pria mantan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi di KPP Madya Jakarta Pusat ini menuturkan, suasana yang dibangun di lingkungan kantor KPP Pratama Batulicin memang dilandasi rasa kekeluargaan. Setiap Senin dan Kamis, mayoritas pegawai yang beragama Islam, melakukan puasa bersama.
Selain memperkuat iman, faktor mahalnya biaya hidup juga menjadi alasan untuk melakukan puasa setiap minggu. Menu buka puasa juga tidak ada yang istimewa, mie, gorengan dan sop merupakan menu favorit berbuka puasa. Kadang kalau ada uang lebih atau ada pegawai yang dengan sukarela mendonasikan uangnya, sate ayam merupakan menu istimewa yang mendampingi para karyawan berbuka puasa. "Di sini semua urunan (patungan), termasuk buka puasa juga kita patungan," kata Wakhid.
Prinsipnya, tutur Wakhid, suasana yang dibangun di lingkungan kerja KPP Pratama Batulicin memang demikian. Pendidikan secara rohani, ditanam jauh-jauh untuk membentuk karakter pegawai pajak yang bersih.
Dia berani untuk diperiksa, jika menerima uang suap dari wajib pajak, dia bersedia digantung di Monas. "Silakan cek, kalau ada secuil saya terima, saya bersedia digantung di Monas, emang Anas aja," tuturnya.
Sumber:
http://www.merdeka.com/peristiwa/ruko-itu-apartemenku-cerita-tempat-tinggal-20-pegawai-pajak.html
Posting Komentar untuk "Ruko sebagai tempat tinggal 20 Pegawai Pajak"